Arsip untuk Oktober, 2009


berdua di pantai sineMembandingkan anak-anak adalah perbuatan yang sangat dibenci oleh para pemerhati anak-anak baik psikolog, psikiatri, maupun pembimbing konseling. Namun tak bisa dipungkiri bagi ibu-ibu yang telah mempunyai lebih dari satu anak pasti sering melakukan walaupun mungkin terbatas pikiran di kepala.

Titipan Liburan
Sebenarnya sudah sedikit terlambat tulisan ini, karena liburan telah usai. Namun saya pikir lebih baik telat daripada tidak sama sekali. Sekali mutiara tetaplah akan menjadi mutiara kapanpun dia digosok. Momen ini adalah ketika saya usai mengambil raport di sekolah Mas Gangga, ketika Kepala Sekolah menyapa Mas Gangga, beliau tahu itu anak didiknya walaupun tidak menggunakan seragam. Entah bagaimana beliau mengenali sosok anak didiknya, mungkin dari baunya kali ya? Hehehe….
“Gimana raportnya Mas Gangga?, Bagus?” tanya beliau. Kalau pertanyaan beginian harus Bunda nih yang ngejawab.
“Alhamdulillah Ustadz, selalu ada perkembangan baik,” jawab saya.
Ya saya patut bersyukur bahwa ketika awal masuk sekolah Mas Gangga termasuk siswa yang belum bisa baca tulis. Hanya bermodal minat dan antusiasnya. Dan syukurlah  dengan modal pemahamannnya yang baik dia mampu mengejar ketertinggalan. Bahkan dia sangat enjoy saat Ustadzah dikelas harus memberinya tambahan pelajaran Bina Prestasi seusai sekolah. Hasilnya … Subhanallah sejak semester satu Ayahnya selalu komentar, “Bener ta ini nilainya Gangga?” dan sejujurnya saya sendiri juga sedikit kurang percaya melihat gaya slenge’an mas Gangga saat di rumah. Pelajaran buat Bunda jangan memberi penialian underestimate terhadap anak sendiri.
Terutama dalam hal pelajaran eksakta seperti matematika dan komputer saya nilai dia sangat bagus pemahamannya. Bukan hasil akhirnya yang kutonjolkan, namun cara dia memahami suatu soal atau permasalahan itu yang kadang membuat saya sedikit exciting. Walaupun di semester akhir kelas satu ini justru matematikalah nilai terendahnya, 8.8. Persoalannya dia terlalu PD dengan pelajaran satu ini, sehingga dia kurang teliti dengan jawaban akhirnya. Pelajaran buat Bunda jangan terlalu pede dengan kemampuan anaknya sehingga mengurangi kekhusyuan Bunda mendo’akannya –jujur yang ini memang iya- Jadi pelajaran buat Bunda segala sesuatu haruslah dalam koridor yang sedang-sedang saja.
Kembali ke Kepala Sekolah yang sempat ditinggal beberapa saat ini.
“Wah liburan panjang nih, Mas Gangga, mau kemana?”tanya pak Kepsek.
“Belum ada rencana Ustadz, mungkin sementara masih dirumah saja,” jawab saya sambil merangkul kepala Mas Gangga yang senyam senyum malu.
“Yah…selamat berlibur ya?, Ibu mungkin saya titip pesen saja buat liburan Mas Gangga, titip sholat dan ngajinya jangan ketinggalan,” ucap beliau.
Subhanallah…asli saya sudah siap dengan titipan klise macam, hati-hati, nanti kembali ke sekolah dengan fresh dsb. Asli tak terpikir bahwa titipan liburan itu adalah sholat dan ngajinya mas Gangga. Terima kasih Ustadz sudah mengingatkan saya dengan titipan sederhana tapi berat itu.
Sholat dan ngaji mas Gangga asli masih bolong-bolong. Kalau diingatkan baru mau melaksanakan, kalau tidak ada yang ngingetin yah bablas wewsss ewess ewesss… Semoga liburan kali ini memang banyak memberi manfaat bagi perkembangan mental spiritualnya, terutama agar bisa menegakkan sholat dan ngajinya dengan tanpa paksaan.
Karena saya memang sangat anti memaksakan segala sesuatu yang belum bisa dipahamkan dengan kemauan dan kesadarannya sendiri. Kami orangtua hanyalah pendorong dan sesekali pengingat saat dia lupa. Kami tak ingin karena pemahamannya belum sampai dia menjalankan sholat dan ngajinya tanpa bobot rasa yang mengiringinya. Karena justru akan memberatkan tugas kami sebagai orangtua. Takutnya dia melakukan sholat dan nagjinya saat ada kami, dan ketika kami tak berada disampingnya dia meninggalkannya, naudzubillahimindalik. Semoga pemahamnnya tertancap kuat dalam ruang cinta, sehingga apapun yang dia lakukan adalah karena ada cinta disana, cinta kepada yang Maha Mencintai. Bi Barakatillah.
Finished 24.10.09
Sebenarnya sudah sedikit terlambat tulisan ini, karena liburan telah usai. Namun saya pikir lebih baik telat daripada tidak sama sekali. Sekali mutiara tetaplah akan menjadi mutiara kapanpun dia digosok. Momen ini adalah ketika saya usai mengambil raport di sekolah Mas Gangga, ketika Kepala Sekolah menyapa Mas Gangga, beliau tahu itu anak didiknya walaupun tidak menggunakan seragam. Entah bagaimana beliau mengenali sosok anak didiknya, mungkin dari baunya kali ya? Hehehe…. Lanjut Baca »

Aku mengenal dunia maya sekitar akhir tahun 1999-an saat masih mengerjakan proyek di Jakarta. Perkenalan perdana itu masih sebatas email dan browsing. Itupun dengan account email yang dibuatkan seorang sahabatku, Bisri. Ketika proyek itu selesai kukerjakan saya harus kembali ke base camp, atau kantor pusatku di Surabaya, saya harus puas dengan menghentikan aktifitasku di dunia maya karena di kantorku ini memang belum tersedia jaringan internet.  Sampai-sampai teman-temanku yang rajin mengirimiku email harus komplain karena tidak bisa lagi mengirimiku email karena account emailku sudah terlalu penuh, yang ternyata juga terblokir karena lalu lama tak dibuka.  Barulah sekitar tahun 2002 ketika aku pindah ke Departemen Humas di perusahaanku aku bisa mengakses internet kembali. Account yang telah mati suri itu segera kuaktifkan lagi, dengan ribuan email yang masuk. Rasanya lega, suer!
Aku pernah membaca artikel tentang blog di majalah Intisari. Rasanya tertarik sekali pengen membuat blog, secara saat-saat itu aku mulai sering menulis, menulis tentang keseharian, semacam diary yang kusimpan di folder fileku. Maka segera kucari tahu tentang pembuatan blog ini. Dulu mengenal email aja serasa menemukan ‘keajaiban’ karena kecepatannya mengirim berita. Apalagi sekarang ketemu yang lebih ajaib lagi, karena berbagai tulisan kita bisa berkibar di dunia maya. Rasanya amazing banget, apalagi ketika tulisan itu mendapat komentar. Rasanya puas yang tak terbahasakan.
Awal pembuatan blog ini sangatlah rumit, karena aku benar-benar membuat dengan otodidak, tak seorangpun yang membantuku, kalaupun membantu paling sebatas pertanyaan, “Kalau mau menampilkan menu seperti di blog si A gimana?” kemudian si temen tadi memberi sebuah link kepadaku untuk belajar sendiri. Awalnya sebel juga dengan cara dia mengajariku, maunya aku to the point aja biar gak ribet, namun belakangan aku baru merasakan cara mentoringnya yang seperti itu, karena ternyata itu membuatku melek dengan dunia blogging. Narsisnya, ‘aku jadi lebih pinter’ dengan cara dia mengajariku. Awalnya aku membuat blog di blogspot, dimana Blogger lebih memungkinkan kita berkreasi sepuasnya. Asalkan kita menguasai bahasa HTML. Dan untunglah banyak para blogger yang menuliskan tips-tips untuk merangkai sebuah menu. Walaupun tinggal copas (Copy paste) tapi bila kita tidak mengetahui sedikit banyak tentang bahasa html maka juga akan kesulitan. Saat itu pemilik layanan blog seperti Blogger belum membuat versi bahasa Indonesia sehingga harus sedikit terbata-bata membaca suatu perintah membuat menu di blog, secara Inggrisku tak bergrammar.  Jadilah aku mupeng dengan dunia blog ini selama lebih dari dua bulan. Blogger sebagai pemilik layanan blogspot juga belum se-simple sekarang, saat ini layanan blogspot, dan WordPress sudah sangat memadai untuk membuat tampilan blog kita jadi ciamik soro! Karena ingin menu seperti apa tinggal mengcreate dari dashboard kita tanpa susah-susah menjejalkan berbagai perintah bahasa html, karena fasilitas itu semua sudah tersedia. Kecuali memang kita maniak berdandan di blog tentu blogspot masih membuka peluang itu.
Jadilah pertengahan tahun 2006 aku mencoba menguprek blog, dan alhasil pada bulan September 2006 beberapa tulisanku berhasil nangkring di siuhik.blogspot.com.  Hasil postingan perdana itu tak membuatku puas, karena aku terus menguprek blogspotku hasil dari blogwalking. Dari acara jalan-jalan di dunia maya itu membuatku selalu merasa kurang dengan tampilan blogku, sampai rasanya pusingggg sekali kalau belum bisa memecahkan sebuah hasil tampilan. Dari mengupload foto, membuat root menu, menampilkan kalender, membuat tulisan berjalan, sampai tempelan-tempelan unik lainnya, dulu harus kukerjakan sendiri dengan mencari menu-menu aplikasi dari blog-blog para pakar blogspot. Yang sering saya buka ada blog dari Anang, Kang Kombor, Kang Arif, dsb. Dan dari Kang Kombor pula akhirnya saya bermigrasi ke WordPress, karena terkena iming-iming bahwa di WordPress walaupun tak sebebas Blogspot namun lebih simple, dan juga karena dijanjikan bahwa tulisan saya di Blogspot bisa diekspor atau diunduh ke WordPress. So artikel yang telah terkumpul dari blogspot bisa langsung nangkring di alamat wordpressku lengkap tak tertinggal secuilpun, kecuali komentar-komentar dari Oggyx di blogspotku. Akhirnya dengan BIsmillah kulaunching rumahku di dunia maya yang beralamatkan cahayabintang.wordpress.com. Dan sesuai dengan iming-iming diatas aku memang bisa mengekspor semua fileku ke wordpress dengan langkah yang sangat mudah, semudah membalik telapak tangan *soriii bukan iklan* hingga sekarang aku yang memang lebih berkonsep minimalis lebih nyaman untuk tinggal di perkampungan wordpress. Lebih simple, ga suka rese’ dan yang lebih penting lebih mudah untuk memposting tulisan. Walaupun sekarang blogspot maupun multiply juga tak kalah ciamiknya, semua kembali pada selera.
Untuk dunia jejaring sosial aku masih mempertahankan ID YMku siuhik, karena sejak awal lebih familiar dengan beliaunya itu. Untuk masuk ke layanan semacam facebook, twitter, n so on yang sekarang buanyak sekali aku belum tertarik. Dengan dua dunia blogging n chatting saja aku merasa sudah cukup, sehingga undangan yang banyak banget masuk di imel dari FB, Twitter n so on dengan terpaksa aku tolak semua, maaf!
Begitulah dunia maya merambah diriku, tapi akupun merasakan aku tidak membabi buta. Mungkin karena aku telah mengenalnya lama sehingga setiap ada layanan baru tak serta merta aku membabi buta. Aku setia dengan apa yang ada, bukan berarti aku tak mengikluti perkembangan dunia maya, tapi entahlah aku merasa itu belum kuperlukan saat ini. Aku berusaha untuk tidak ndeso. Setiap ada yang baru jadi berbondong-bondong seolah besok akan kehabisan, sehingga dianggap ga gaul. Tapi semua itu hak mereka, dan aku menghargainya seperti aku juga ingin dihargai dengan pilihanku.
Dunia menulis seolah nyawa bagiku, tak menulis sehari rasanya kepala ini jadi pening. Walaupun tulisan itu masih tulisan sederhana bukan untuk komersial tapi aku puas, aku bahagia bisa menulis sehingga dunia blogging tetaplah menjadi prioritas utamaku. Entah sampai kapan. Tapi rasanya tak mungkin aku tinggalkan.
Finished Ujung, 08.10.09
Aku mengenal dunia maya sekitar akhir tahun 1999-an saat masih mengerjakan proyek di Jakarta. Perkenalan perdana itu masih sebatas email dan browsing. Itupun dengan account email yang dibuatkan seorang sahabatku, Bisri. Ketika proyek itu selesai kukerjakan saya harus kembali ke base camp, atau kantor pusatku di Surabaya, saya harus puas dengan menghentikan aktifitasku di dunia maya karena di kantorku ini memang belum tersedia jaringan internet.  Sampai-sampai teman-temanku yang rajin mengirimiku email harus komplain karena tidak bisa lagi mengirimiku email karena account emailku sudah terlalu penuh, yang ternyata juga terblokir karena lalu lama tak dibuka.  Barulah sekitar tahun 2002 ketika aku pindah ke Departemen Humas di perusahaanku aku bisa mengakses internet kembali. Account yang telah mati suri itu segera kuaktifkan lagi, dengan ribuan email yang masuk. Rasanya lega, suer!

Dialog di Mall


Dialog ini sebenarnya memang tidak untuk diikuti, namun tak ada salahnya kubagi, sebagai sebuah pembelajaran. Siang itu aku mengantar seorang sahabat ke mall saat jam istirahat kantor, sekalian membeli beberapa keperluan, aku memutuskan untuk ikut dengannya.KAtanya mau beli baju buat anak-anaknya. Aku yang mendengar alasannya sedikit rada nyinyir, tapi kupendam aja, mengingat hak seseorang untuk membelanjakan hartanya.
Sesiang itu kami hilir mudik mencari kebutuhan masing-masing, aku yang memang tak banyak yang ingin kubeli akhirmya mengekor dibelakangnya. Lagi sibuk-sibuk memilih baju, aku berkata padanya, “Ngapain sih orang-orang ini setiap lebaran harus sibuk dengan baju baru, dengan sepatu baru, pokoknya harus serba baru deh!”
Sambil masih memilih-milih baju di kapstok dia menjawab, “Memang kenapa? Khan justru disunnahkan untuk mencari yang terbaik buat dikenakan saat lebaran?” katanya.
“Yah tapi kan nggak harus yang baru? Ngapain maksa-maksain beli yang baru?” kataku.
“Nyindir nih ceritanya?” katanya ngerasa disindir.
“Syukur kalo ngerasa disindir.” jawabku dengan bercanda karena aku tahu kami memang sedang bercanda.
“Gini ya dek, kalau saya sih, memang selalu mencari baju baru saat lebaran, minimal buat anak-anak, untuk aku dan suami bolehlah kalau masih ada lebihnya. Karena memang kita disyariatkan untuk memakai yang terbaik saat Idul Fitri. Nah kalau kami memang baru bisa beli baju baru saat lebaran karena memang baru ada lebihnya rejeki kenapa tidak? Jadi niatan saya membelikan baju anak-anaak mencoba menegakkan anjuran Rasulullah itu, bukan buat sekedar gaya-gayaan, bukan buat mewah-mewahan, karena yang aku beli juga bukan baju yang mewah-mewah, biasa aja deh kayaknya!” katanya rada senewen.
“Jadi jangan nyinyirlah kalau memang ada banyak orang berbondong-bondong membeli baju baru saat lebaran, karena bisa jadi memang mereka baru bisa membeli baju saat lebaran seperti ini dan untuk menegakkan sunnah tadi, jangan salah menilai orang!” lanjutnya sejurus kemudian.
Aku jadi terdiam, ada benarnya juga yang dia katakan.
Kami meneruskan perjalanan, yang tanpa sengaja melewati foodcourt, yang siang itu terasa ramai, sesak bahkan.
“Hmmh, tega betul ya mereka menodai Ramadhan, padahal sudah jelas-jelas Allah mengharamkan makan dan mimun di siang hari saat Ramadhan,” katanya.
“Heh, jangan salah mbak, kok gantian mbak yang nyinyir? Kan bisa jadi mereka non muslim, atau lagi berhalangan, jangan sok deh!” kataku lagi. Gatal juga telinga mendengar omelannya kali ini.
“Yah emang sih, cuma seandainya mereka tahu kemuliaan Ramadhan, saya sempet salut ama temenku yang walaupun dia berhalangan dia tetap tak makan minum disiang hari, dia ikut sahur, dan berbuka juga waktu Maghrib. Dia bilang semua dilakukan karena dia sangat menghormati bulan Ramadhan.” katanya.
“Lah ngapain? Kan haram hukumnya bagi wanita kalau puasa sedang berhalangan ?” dengan pedenya aku menyanggah.
“Iya , dia juga tahu lah kalau puasanya hari itu dihitung haram, dia juga tidak meniatkan untuk puasa Ramadhan, tapi karena begitu hormatnya dia dengan bulan itu sehingga dia menghormati dengan caranya untuk tetap tak makan dan minum saat siang hari,  jadi dia memang semata-mata menghormati waktu Ramadhannya, dan tetap mengganti puasanya sebanyak dia berhalangan itu. Wallahua’lam, tapi saya sangat menghargai pendapatnya, dan mengikuti ijtihadnya untuk menghormati waktu di bulan Ramadhan ini.” lanjutnya.
Untuk kedua kalinya aku terdiam, dan sejujurnya membenarkan pendapatnya. Kulirik orang-orang yang tengah melahap makanannya, yang ternyata banyak juga dari mereka yang berjilbab.
Darinya aku belajar untuk bisa melihat sisi lain dari sebuah permasalahan, untuk tidak selalu menjudge segala sesuatu. Walaupun dengan berpendapat begitu aku juga harus siap untuk dicap sebagai orang yang tak berprinsip. Namun aku mencoba berangkat dari satu hal bahwa tak harus terus menyalahkan, karena bisa jadi merekalah yang benar! Sehingga tak selalu membuatku terheran-heran melihat banyak fenomena kehidupan terutama kehidupan beragama. Mungkin hal itu mengajariku tentang kearifan. Wallahua’lam.
Pacarkembang 5 Oktober 2009
Dialog ini sebenarnya memang tidak untuk diikuti, namun tak ada salahnya kubagi, sebagai sebuah pembelajaran. Siang itu aku mengantar seorang sahabat ke mall saat jam istirahat kantor, sekalian membeli beberapa keperluan, aku memutuskan untuk ikut dengannya.KAtanya mau beli baju buat anak-anaknya. Aku yang mendengar alasannya sedikit rada nyinyir, tapi kupendam aja, mengingat hak seseorang untuk membelanjakan hartanya.
Sesiang itu kami hilir mudik mencari kebutuhan masing-masing, aku yang memang tak banyak yang ingin kubeli akhirmya mengekor dibelakangnya. Lagi sibuk-sibuk memilih baju, aku berkata padanya, “Ngapain sih orang-orang ini setiap lebaran harus sibuk dengan baju baru, dengan sepatu baru, pokoknya harus serba baru deh!”
Sambil masih memilih-milih baju di kapstok dia menjawab, “Memang kenapa? Khan justru disunnahkan untuk mencari yang terbaik buat dikenakan saat lebaran?” katanya.
“Yah tapi kan nggak harus yang baru? Ngapain maksa-maksain beli yang baru?” kataku.
“Nyindir nih ceritanya?” katanya ngerasa disindir.
“Syukur kalo ngerasa disindir.” jawabku dengan bercanda karena aku tahu kami memang sedang bercanda.
“Gini ya dek, kalau saya sih, memang selalu mencari baju baru saat lebaran, minimal buat anak-anak, untuk aku dan suami bolehlah kalau masih ada lebihnya. Karena memang kita disyariatkan untuk memakai yang terbaik saat Idul Fitri. Nah kalau kami memang baru bisa beli baju baru saat lebaran karena memang baru ada lebihnya rejeki kenapa tidak? Jadi niatan saya membelikan baju anak-anaak mencoba menegakkan anjuran Rasulullah itu, bukan buat sekedar gaya-gayaan, bukan buat mewah-mewahan, karena yang aku beli juga bukan baju yang mewah-mewah, biasa aja deh kayaknya!” katanya rada senewen.
“Jadi jangan nyinyirlah kalau memang ada banyak orang berbondong-bondong membeli baju baru saat lebaran, karena bisa jadi memang mereka baru bisa membeli baju saat lebaran seperti ini dan untuk menegakkan sunnah tadi, jangan salah menilai orang!” lanjutnya sejurus kemudian.
Aku jadi terdiam, ada benarnya juga yang dia katakan.
Kami meneruskan perjalanan, yang tanpa sengaja melewati foodcourt, yang siang itu terasa ramai, sesak bahkan.
“Hmmh, tega betul ya mereka menodai Ramadhan, padahal sudah jelas-jelas Allah mengharamkan makan dan mimun di siang hari saat Ramadhan,” katanya.
“Heh, jangan salah mbak, kok gantian mbak yang nyinyir? Kan bisa jadi mereka non muslim, atau lagi berhalangan, jangan sok deh!” kataku lagi. Gatal juga telinga mendengar omelannya kali ini.
“Yah emang sih, cuma seandainya mereka tahu kemuliaan Ramadhan, saya sempet salut ama temenku yang walaupun dia berhalangan dia tetap tak makan minum disiang hari, dia ikut sahur, dan berbuka juga waktu Maghrib. Dia bilang semua dilakukan karena dia sangat menghormati bulan Ramadhan.” katanya.
“Lah ngapain? Kan haram hukumnya bagi wanita kalau puasa sedang berhalangan ?” dengan pedenya aku menyanggah.
“Iya , dia juga tahu lah kalau puasanya hari itu dihitung haram, dia juga tidak meniatkan untuk puasa Ramadhan, tapi karena begitu hormatnya dia dengan bulan itu sehingga dia menghormati dengan caranya untuk tetap tak makan dan minum saat siang hari,  jadi dia memang semata-mata menghormati waktu Ramadhannya, dan tetap mengganti puasanya sebanyak dia berhalangan itu. Wallahua’lam, tapi saya sangat menghargai pendapatnya, dan mengikuti ijtihadnya untuk menghormati waktu di bulan Ramadhan ini.” lanjutnya.
Untuk kedua kalinya aku terdiam, dan sejujurnya membenarkan pendapatnya. Kulirik orang-orang yang tengah melahap makanannya, yang ternyata banyak juga dari mereka yang berjilbab.
Darinya aku belajar untuk bisa melihat sisi lain dari sebuah permasalahan, untuk tidak selalu menjudge segala sesuatu. Walaupun dengan berpendapat begitu aku juga harus siap untuk dicap sebagai orang yang tak berprinsip. Namun aku mencoba berangkat dari satu hal bahwa tak harus terus menyalahkan, karena bisa jadi merekalah yang benar! Sehingga tak selalu membuatku terheran-heran melihat banyak fenomena kehidupan terutama kehidupan beragama. Mungkin hal itu mengajariku tentang kearifan. Wallahua’lam.
Pacarkembang 5 Oktober 2009
Dialog ini sebenarnya memang tidak untuk diikuti, namun tak ada salahnya kubagi, sebagai sebuah pembelajaran. Siang itu aku mengantar seorang sahabat ke mall saat jam istirahat kantor, sekalian membeli beberapa keperluan, aku memutuskan untuk ikut dengannya.KAtanya mau beli baju buat anak-anaknya. Aku yang mendengar alasannya sedikit rada nyinyir, tapi kupendam aja, mengingat hak seseorang untuk membelanjakan hartanya.
Sesiang itu kami hilir mudik mencari kebutuhan masing-masing, aku yang memang tak banyak yang ingin kubeli akhirmya mengekor dibelakangnya. Lagi sibuk-sibuk memilih baju, aku berkata padanya, “Ngapain sih orang-orang ini setiap lebaran harus sibuk dengan baju baru, dengan sepatu baru, pokoknya harus serba baru deh!”
Sambil masih memilih-milih baju di kapstok dia menjawab, “Memang kenapa? Khan justru disunnahkan untuk mencari yang terbaik buat dikenakan saat lebaran?” katanya.
“Yah tapi kan nggak harus yang baru? Ngapain maksa-maksain beli yang baru?” kataku.
“Nyindir nih ceritanya?” katanya ngerasa disindir.
“Syukur kalo ngerasa disindir.” jawabku dengan bercanda karena aku tahu kami memang sedang bercanda.
“Gini ya dek, kalau saya sih, memang selalu mencari baju baru saat lebaran, minimal buat anak-anak, untuk aku dan suami bolehlah kalau masih ada lebihnya. Karena memang kita disyariatkan untuk memakai yang terbaik saat Idul Fitri. Nah kalau kami memang baru bisa beli baju baru saat lebaran karena memang baru ada lebihnya rejeki kenapa tidak? Jadi niatan saya membelikan baju anak-anaak mencoba menegakkan anjuran Rasulullah itu, bukan buat sekedar gaya-gayaan, bukan buat mewah-mewahan, karena yang aku beli juga bukan baju yang mewah-mewah, biasa aja deh kayaknya!” katanya rada senewen.
“Jadi jangan nyinyirlah kalau memang ada banyak orang berbondong-bondong membeli baju baru saat lebaran, karena bisa jadi memang mereka baru bisa membeli baju saat lebaran seperti ini dan untuk menegakkan sunnah tadi, jangan salah menilai orang!” lanjutnya sejurus kemudian.
Aku jadi terdiam, ada benarnya juga yang dia katakan.
Kami meneruskan perjalanan, yang tanpa sengaja melewati foodcourt, yang siang itu terasa ramai, sesak bahkan.
“Hmmh, tega betul ya mereka menodai Ramadhan, padahal sudah jelas-jelas Allah mengharamkan makan dan mimun di siang hari saat Ramadhan,” katanya.
“Heh, jangan salah mbak, kok gantian mbak yang nyinyir? Kan bisa jadi mereka non muslim, atau lagi berhalangan, jangan sok deh!” kataku lagi. Gatal juga telinga mendengar omelannya kali ini.
“Yah emang sih, cuma seandainya mereka tahu kemuliaan Ramadhan, saya sempet salut ama temenku yang walaupun dia berhalangan dia tetap tak makan minum disiang hari, dia ikut sahur, dan berbuka juga waktu Maghrib. Dia bilang semua dilakukan karena dia sangat menghormati bulan Ramadhan.” katanya.
“Lah ngapain? Kan haram hukumnya bagi wanita kalau puasa sedang berhalangan ?” dengan pedenya aku menyanggah.
“Iya , dia juga tahu lah kalau puasanya hari itu dihitung haram, dia juga tidak meniatkan untuk puasa Ramadhan, tapi karena begitu hormatnya dia dengan bulan itu sehingga dia menghormati dengan caranya untuk tetap tak makan dan minum saat siang hari,  jadi dia memang semata-mata menghormati waktu Ramadhannya, dan tetap mengganti puasanya sebanyak dia berhalangan itu. Wallahua’lam, tapi saya sangat menghargai pendapatnya, dan mengikuti ijtihadnya untuk menghormati waktu di bulan Ramadhan ini.” lanjutnya.
Untuk kedua kalinya aku terdiam, dan sejujurnya membenarkan pendapatnya. Kulirik orang-orang yang tengah melahap makanannya, yang ternyata banyak juga dari mereka yang berjilbab.
Darinya aku belajar untuk bisa melihat sisi lain dari sebuah permasalahan, untuk tidak selalu menjudge segala sesuatu. Walaupun dengan berpendapat begitu aku juga harus siap untuk dicap sebagai orang yang tak berprinsip. Namun aku mencoba berangkat dari satu hal bahwa tak harus terus menyalahkan, karena bisa jadi merekalah yang benar! Sehingga tak selalu membuatku terheran-heran melihat banyak fenomena kehidupan terutama kehidupan beragama. Mungkin hal itu mengajariku tentang kearifan. Wallahua’lam.
Pacarkembang 5 Oktober 2009

Dialog ini sebenarnya memang tidak untuk diikuti, namun tak ada salahnya kubagi, sebagai sebuah pembelajaran. Siang itu aku mengantar seorang sahabat ke mall saat jam istirahat kantor, sekalian membeli beberapa keperluan, aku memutuskan untuk ikut dengannya. Katanya mau beli baju lebaran buat anak-anaknya. Aku yang mendengar alasannya sedikit rada nyinyir, tapi kupendam aja, mengingat hak seseorang untuk membelanjakan hartanya. Lanjut Baca »